myadd

“sibuk terus di depan laptop, tapi nilai merah” itulah kata yang terucap oleh lelaki jangkung itu.
Entah apa sejujurnya sayapun bingung dengan semua ini, usaha saya rasanya percuma, jiwa rajin dalam mengerjakan semua tugas dengan hasil yang selalu baikpun rasanya sia-sia. Saya rasa, saya mulai lelah dengan ketidak adilan ini. Tempat kuliah yang katanya mencetak calon guru, mustahil akan menciptakan guru masa depan dengan jiwa hebat, cara pembelajaran dalam perkuliahan saja tidak memandang proses belajar. Rasanya apa yang diajarkan dosen itu semua bullshit dan cuma ilmu dengan segudang teori saja tanpa praktek nyata yang jelas. Walaupun tak jarang saya berfikir positif untuk semua, akan tetapi tetap saja tidak ada perubahan.

Lihat saja di tempat saya berkuliah, dosen yang mengajar bidang kependidikan yang katanya ilmu tersebut untuk melatih kami menjadi calon pendidik hebat itu percuma jika mahasiswa tidak bisa memilih. Jika saya lihat, mereka memberikan teori misalkan tentang pengolahan kelas yang baik, tapi nyatanya saat di kelas, saya lihat beliau tidak bisa mengolah kelas, saat perkuliahan kami malah asik dengan tugas yang lain, tidur, ngobrol, dll. Bukan kami tidak menghargai beliau sebagai dosen, dan bukan juga kami bersifat kekanak-kanakan, tapi nyatanya begitulah keadaan kelas, beliau memberikan kami hanya teori saja, suara beliau saat pengajaranpun bagaikan peri penghantar tidur. Saya akan memaklumi beliau yang sudah tua dan dengan fisik yang tidak memungkinkan. Tapi sepertinya bukan hanya dosen yang sudah tua akan pengalaman saja, namun dosen muda pun banyak yang seperti itu dalam pengajaran mereka.
Saya fikir prinsip mereka karena kami mahasiswa sudah bisa mandiri, sehingga ketika mendekati ujian mereka hanya memberikan ppt untuk kami pelajari tanpa tahu bahwa kami tidak mengerti akan isinya, meminta kami mempunyai buku untuk di baca sendiri dan beliau semua hanya beranggapan “yang penting saya mengajar dan sudah memberikan pengajaran, jika mahasiswa tidak memperhatikan itu tanggung sendiri resikonya”, seperti itulah bahasa kasarnya.
Namun bukankah umur yang sudah tua dan pengalamanpun sudah berlimpah membuat mereka harusnya semakin lebih baik dalam pengajaran? Tidakkah mereka memikirkan apakah ilmu yang mereka sampaikan dapat kami terima? Tidakkah mereka berfikir kami sulit mengkritisi karena memang kami bingung apa yang harus kami kritisi dalam materi perkuliahan?
Berbeda jika dosen yang benar-banar mengajar kami dengan ikhlas dan sabar, mungkin cara pengajaran dari diri seseorang tergantung jiwa dan niat meraka saya rasa. Kenapa? Ada juga dosen yang memang benar-benar membuat kami bangga dan kami merasakan manfaat dari pembelajaran beliau, ilmu yang sulit diterima nalar terasa mudah dan menyenangkan, walaupun beliau sudah rentan dan sakit-sakitan tapi disiplin dan cara belajar yang menyenangkan adalah kebanggaan tersendiri bagi kami dan tidak hanya dosen yang tua saja, dosen mudapun ada yang elok dalam pengajaran namun dosen-dosen ini hanya sedikit yang dapat saya temui. Saya akan merasa bangga, walaupun nilai saya hancur namun saya paham akan ilmu yang diberikan walaupun terkadang harus mendengarkan setiap pukulan tajam dari orang tua dari hasil kejujuran. Akan tetapi saya akan merasa sia-sia dengan nilai bagus namun saya tidak memahami pembelajaran dan saya akan terhina jika usaha saya terkadang tidak dihargai.
Dosen juga manusia, mereka sering khilaf dan salah, dalam penilaian pun mereka hanya random, mungkin tangtingtung tergantung mood beliau. Lihat saja, rata-rata dosen hanya melihat hasil akhir tanpa melihat proses. Hellooowww katanya kampus pencetak pemimpin masa depan, para calon guru.
“sebagai guru kita harus melihat input-proses-output,” kalimat itu hanyalah sekedar teori kawan, ini yang saya dapatkan ketika pembelajaran, namun nyatanya, saya akan ambil satu contoh dalam hal praktikum, teman saya yang jarang sekali membatu dalam praktikum kini bisa bersantai ria dengan nilai nya yang istimewa, namun saya dan teman-teman lain yang begitu sabar dan luar biasanya menjalani setiap langkah dalam proses praktikum hanya mendapatkan nilai akhir yang buruk. Ini nyata kawan! Itu hanya contoh kecil dalam hal praktikum. Saat kuliah dengan mata kuliah yang berkaitan dengan praktikum tersebut, kami yang mendapatkan nilai buruk dapat menjawab dengan mudah yang ditanyakan dosen, namun mereka yang mendapatkan nilai istimewa nihil dalam menjawab. Mungkin ini harus dikaji dalam proses pembelajaran, bahwa tidak semua kemampuan dapat dinilai dengan goresan angka saja, lihatlah dalam proses bukan hanya hasil akhir.
Di bangku perkuliahan yang saya rasakan itu sangat kronis, saya akui seharusnya kami bisa mandiri dalam pembelajaran, namun untuk apa ada seorang dosen jika kami harus mandiri dalam pembelajaran tanpa arahan dari mereka. Mungkin harusnya kami mahasiswa belajar dahulu, kemudian dosen sebagai fasilitator kami, tapi bagaimana bisa menjadi fasilitator jika dalam proses pengajaran saja terkadang kami tidak mengerti apa yang beliau ajarkan, beliau saja hanya terpaku dengan power point. Terkadangpun kami masih sulit mencerna setiap jawaban dosen, mungkin kami lemot dalam berfikir dan hanya mau dimanjakan saja. Tapi mungkinkah seperti itu? Tidakkah bapak/ibu dosen mencotoh teman bapak/ibu yang mahir dalam mengajar kami? Kami juga butuh untuk dididik dan diajarkan dengan bimbingan bapak/ibu dosen. Dan kami merasa ketidak adilan jika bapak/ibu dosen hanya melihat hasil akhir saja dalam perkuliahan ini. Terkadang, para dosen memberikan nilai istimewa karena beliau mengenal mahasiswa tersebut dengan baik dan atau mahasiswa tersebut memberikan sesuguhan yang nikmat untuk keluarga bapak/ibu dosen. Jika ada seorang dimata dosen sekali saja bersikap baik, maka beliaupun akan memberikan point plus untuk mereka. Namun jika ada mahasiswa dengan sikap kurang baik karena ada alasan tertentu tetap saja di mata dosen akan buruk. Entahlah ini hanya apa yang saya rasakan di bangku perkuliahan yang semakin lama tidak memandang proses dan hanya melihat hasil akhir yang terkadang dihasil akhir tersebut tersembunyi kecurangan-kecurangan tersendiri.
Satu lagi, kami sebagai mahasiswa/i di era modern ini, ada beberapa tokoh yang menganggap remeh setiap pergerakan kami, mereka hanya menganggap kami tidak lebih seperti bayi, mereka beranggapan pergerakan kami tidak lebih seperti aksi ikut-ikutan. Padahal kami ini pemuda/i terpilih power of country, semoga.
Sekian, mohon maaf jika ada yang merasa tersinggung atas tulisan yang kurang struktural diatas, bukan saya tidak bangga dengan almamater, saya sangat bangga tapi lihatlah tenaga pengajarnya, lebih baik menangis untuk kebaikan dari pada tersenyum diatas kejahatan. Ini hanya isi hati dari seorang mahasiswi yang katanya “di cetak” sebagai calon guru di kampus membangun pemimpin masa depan.





Post a Comment